Posisi Dolar Amerika Serikat sebagai mata uang kuat di dunia semakin tergerus. Hal ini disebabkan aksi dedolarisasi atau pengurangan dolar yang semakin marak di berbagai negara. Aksi ini terjadi semenjak perang Rusia – Ukraina pecah.
Hal itu diungkapkan oleh Stephen Jen, CEO dan co-CIO Eurizon SLJ Capital, yang melihat pangsa dolar AS di cadangan devisa global 2022 anjlok 10 kali lebih cepat dari rata-rata dalam 20 tahun terakhir.
“Dolar AS menderita keruntuhan yang menakjubkan pada 2022 dalam pangsanya sebagai mata uang cadangan devisa, mungkin karena penerapan sanksi yang sangat tegas (ke Rusia)” tulis Jen sebagaimana dikutip Kitco, Sabtu (29/4/2023).
Seperti diketahui, buntut dari perang dengan Ukraina, Amerika Serikat dan sekutunya membekukan cadangan devisa bank sentral Rusia yang ditempatkan di luar negeri.
Banyak yang melihat dolar AS bisa menjadi senjata bagi Amerika Serikat guna menekan negara lain. Dedolarisasi pun semakin masif terjadi.
Berdasarkan perhitungan Jen, pangsa dolar AS di cadangan devisa global pada 2001 mencapai 73%, kemudian turun menjadi 55% pada 2021. Tetapi, pada 2022, hanya dalam tempo satu tahun pangsanya anjlok menjadi 47%.
Jika melihat data Currency Composition of Official Foreign Exchange Reserve (COVER) dari IMF, nilai dolar AS dalam cadangan devisa global memang mengalami penurunan drastis.
Pada kuartal IV-2021, nilainya mencapai US$ 7.085,01 miliar, sementara pada kuartal IV-2022 sebesar US$ 6.471,28 miliar.
Secara pangsa, pada 2021 sebesar 54,8%, sedangkan pada 2022 turun menjadi 54%.
Perhitungan pangsa yang digunakan Jen mungkin berbeda dengan laporan COFER IMF. Tetapi dedolarisasi memang sedang sangat marak, China menjadi motor utamanya.
China merupakan eksportir terbesar kedua di dunia, berdasarkan data dari International Trade Center pada 2022 nilainya mencapai US$ 3,6 triliun. Nilai tersebut jauh di atas Amerika Serikat sebesar US$ 2,1 triliun.
Maka tidak salah jika China terus berusaha mendorong yuan menjadi mata uang internasional.
Presiden Xi saat berkunjung ke Riyadh Desember lalu mengatakan China dan negara-negara Teluk Arab seharusnya menggunakan Shanghai Petroleum and Natural Gas Exchange sebagai platform menyelesaikan transaksi minyak dan gas.
“China akan terus mengimpor minyak mentah dalam jumlah besar dari negara-negara Arab, memperbanyak impor LNG, memperkuat kerjasama pengembangan hulu minyak dan gas, layanan teknik, penyimpanan, transportasi, dan penyulingan serta memanfaatkan sepenuhnya Shanghai Petroleum and National Gas Exchange sebagai platform settlement perdagangan minyak dan gas dengan menggunakan yuan,” kata XI pada Desember 2022 lalu, sebagaimana dilaporkan Reuters.
Upaya tersebut pun mulai menunjukkan hasil. China kini juga bertransaksi dengan menggunakan yuan dalam perdagangan liquefied natural gas (LNG) dengan Uni Emirat Arab.
Shanghai Petroleum and Natural Gas Exchange sebagaimana dilansir Reuters mengatakan China untuk pertama kalinya menyelesaikan transaksi pembelian LNG dengan menggunakan mata uang yuan.